Rabu, 04 Agustus 2021

Adopsi Dalam Agama Islam

Proses verifikasi adopsi (IJW Doc.).
Agama Islam membolehkan seseorang mengangkat anak untuk di asuh, dididik dan diberikan hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Bahkan, untuk anak-anak yatim yang tidak diketahui orangtuanya, atau anak-anak miskin yang sudah jelas orangtuapun Islam tetap membolehkan dengan motif untuk kepentingan dan kesejahteraan anak serta tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam Islam, pengangkatan anak yang dibenarkan adalah  tidak melekatkan nasab kepada anak angkat sehingga hukumnya tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Permohonan pengangkatan anak oleh WNI yang bergama Islam terhadap anak yang beragama Islam menjadi kewenangan Pengadilan Agama/Ma.

DASAR HUKUM

QS. Surah al-Ahzab ayat 37:

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

QS. Surat al-Maidah ayat 2:

… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

NASAB ANAK TETAP MELEKAT

Bukan seperti pada jaman jahilillah Arab dahulu, dimana nasab anak tergantikan dengan orangtua angkatnya, dan diberi hak tanpa kecuali pada anak tersebut sampai hak waris juga, dan hal ini jelas salah. Nasab anak tetap melekat pada garis keturunannya. Bukankah saat diakherat nanti anak akan dipanggil dengan nama ayahnya, bukan ayah angkatnya? Untuk itu jangan sesekali adopsi anak dengan menghilangkan nasab orangtuanya dengan mengganti nama orangtua pada akte anak dengan nama pengadopsi.

ANAK ANGKAT TIDAK BERHAK MENDAPATKAN WARISAN

Dalam hal ini memang hukum waris Islam tidak memasukkan anak angkat sebagai ahli waris. Pada masa jahiliyah, dimana anak angkat mendapat waris bahkan menghalangi ahli waris sebenarnya, menimbulkan perselisihan yang cukup serius. Maka, Islam datang dengan meluruskan tentang hal itu. Lalu bagaimana menyikapinya jika orangtua angkat meninggal? Bisa dengan cara diberi hibah, atau berwasiat pada anak angkat untuk mendapatkan bagian, namun jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga dari jumlah harta waris.

ADA BATAS KEMAHROMAN PADA ANAK ANGKAT

Meski sudah diasuh sejak bayi, anak angkat bukanlah mahromnya/tidak ada hubungan darah. Maka tetap ada batasan melihat bagi anggota keluarga lainnya pada anak angkat. Ini yang kurang disadari oleh banyak orangtua angkat, yang merasa karena sudah dianggap anak sendiri dalam hal perilaku, membuka aurat bahkan saling sentuh walau anak sudah remaja atau dewasa terbiasa dilakukan. Padahal hal itu sebenarnya terlarang dalam Islam.

HAK PERWALIAN NIKAH

Saat anak angkat siap menikah, hak perwaliannya tetap pada ayah kandungnya atau kakek atau saudara laki-lakinya. Orangtua angkat tidak punya hak perwalian, meski orangtua dan kerabatnya tidak diketahui sekalipun, maka wali hakim yang akan menjadi perwaliannya.

MANTAN ISTRI ANAK ANGKAT HALAL DINIKAHI

Hal ini menunjukkan jika anak angkat itu memang berbeda dengan anak kandung, dimana bekas istri anak kandung haram hukumnya dinikahi.

Peristiwa Rasulullah yang menikahi mantan istri Zaid bin Haritsah,  yakni Zainab yang menjadi perbincangan dikalangan masyarakat kala itu, karena dianggap Rasulullah menikahi mantan istri anaknya yang haram hukumnya. Padahal Zaid adalah anak angkat, bukan anak kandung dan ini beda.

“Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah). ‘Tahanlah untukmu istrimu dan takutlah kepada Allah’, dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan engaku takut kepada manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engaku takuti. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, Kami (Allah) nikahkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadikan beban bagi orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan kepustusan Allah pasti terlaksana.” (Al-Ahzab [33] : 37).

MENGADOPSI ANAK, BERARTI MENDIDIK DAN MEMELIHARA

Jika ada seseorang yang mengadopsi anak yatim atau anak yang terlantar juga miskin dengan tujuan untuk memuliakan mereka dengan mendidik dan memelihara yang baik, itu pahala bagi pengadopsi, namun jika ada tujuan lain yang menguntungkan diri sendiri, seperti asuransi, menguasai harta anak yatim atau bahkan niatan buruk lainnya, maka hal tersebut merupakan dosa besar.

Beberapa kasus anak adopsi malah tidak diasuh dengan baik bahkan keadaannya memprihatinkan, karena dibedakan dengan anak sendiri, bahkan kerap dijadikan ‘pembantu’ atau di siksa, maka celaka bagi mereka yang menyia-nyiakan anak yatim atau anak adopsi, karena neraka bersiap menanti.

PAHALA YANG LUAR BIASA BESAR BAGI ORANG YANG MAU MENGADOPSI ANAK YATIM ATAU ANAK MISKIN

Mereka yang memiliki sikap luhur demikian akan mendapatkan penghargaan yang tinggi dalam Islam dan mendapatkan pujian luarbiasa. Rasulullah sampai-sampai memberikan pengandaian yang sangat indah bagi yang mengadopsi anak-anak yatim ini:

“Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini, sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah, lalu ia renggangkan antara keduanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, tidak ada dosa bagi orang yang mau mengadopsi anak-anak miskin, terlantar atau yatim, bahkan pahala mengalir deras untuknya.

ADOPSI DALAM KHI (KOMPILASI HUKUM ISLAM)

Pada dasarnya, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) tidak mengatur mengenai pengangkatan anak oleh orang tua tunggal. KHI hanya menerangkan terkait hak waris anak angkat. Menurut KHI, yang dimaksud anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam).

FATWA MUI TENTANG ADOPSI

MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.

 Yaitu antara lain Al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5 yang artinya:

"Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maula-maula (hamba sahaya yang di merdekakan)."

Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa, "Dari Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR Bukhari dan Muslim)

ADOPSI MENURUT PP. NO. 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK

Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dimungkinkan, dengan syarat bahwa orang tua tunggal tersebut adalah Warga Negara Indonesia dan telah mendapat izin dari Menteri (Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak).

Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 30 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (Permensos No. 110/2009).

SYARAT ADOPSI

Untuk dapat mengangkat anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak, orang tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan (Pasal 32 Permensos No. 110/2009) sebagai berikut:

  • Sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu untuk mengasuh CAA;
  • Berumur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun;
  • Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
  • Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
  • Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
  • Dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
  • Memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
  • Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
  • Adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;
  • Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak izin pengasuhan diberikan; dan
  • Memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.

ADOPSI DI PENGADILAN AGAMA (PA)

“Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan anak (adopsi) bagi orang yang beragama Islam adalah menjadi kewenangan penuh Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa berlaku di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan anak, yakni calon orangtua angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan anak sebagaimana lazimnya perkara volunteer (permohonan). Di Pengadilan Agama diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku sampai keluar Penetapan Pengadilan Agama. Sebagai rujukan dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetepan dari permohonan pengangkatan anak bisanya dipedomani SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983.

PERLU KOORDINASI

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang pengangkatan anak tetap perlu adanya rekomendasi pengangkatan anak dari Dinas Sosial Provinsi, karena dalam mengeluarkan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi juga telah mengadopsi aturan dalam Islam sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam aturan tersebut tetap melekat. Untuk memperjelas tentang proses pengangkatan anak antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Negeri tentunya diperlukan koordinasi yang baik agar permasalahan yang muncul dapat segera ditemukan solusinya. Selain itu, koordinasi dengan instansi terkait (Dinas Sosial dan Dinas Capil) setempat.

PROSEDUR ADOPSI DI PENGADILAN AGAMA

  1. Permohonan pengangkatan anak oleh WNI yang bergama Islam terhadap anak WNI yang bergama Islam diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah dalam wilayah hukum dimana anak tersebut berada. (Voluntair);
  2. Prosedur permohonan harus berpedoman Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979, jo. Nomor 6 Tahun 1983 jo. Nomor 3 Tahun 2005;
  3. Permohonan tersebut dapat dikabulkan jika terbukti memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 39 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Pasal 5 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983 jo. Nomor 3 Tahun 2005;

 PEMBUKTIAN

1.    KTP pemohon/para pemohon

2.   Kutipan akta nikah pemohon/para pemohon

3.    Kartu keluarga

4.    Akta kelahiran anak yang mau diadopsi (kalau ada)

5.    Penghasilan pemohon/para pemohon

6.    Persetujuan orangtua asli

7.    Saksi-saksi

 BUNYI AMAR

Jika permohonan dikabulkan amarnya berbunyi: “ Menyatakan sah pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pemohon bernama ............ bin/binti............. alamat .......... terhadap anak bernama ..... bin/binti......., umur ......”

Salinan penetapan pengangkatan anak tersebut dikirim kepada Kemetrian Sosial, Kementrian Kehakiman cq. Dirjen Imigrasi, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Kesehatan, Kejaksaan Agung, kepolisian RI, dan Panitera Mahkamah Agung RI.

 WASIAT WAJIBAH

Anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat dan/atau anak angkat dapat diberi wiat waajibah oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah secara ex officio maksimal 1/3 bagian dari harta warisan. (Pasal 209 KHI). (Red).

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Unggulan

Home Industri Rambak Kulit Cap Janur

Pak Bardi (IJW Doc). IJW-Sabtu (7/8/2021) penulis berkesempatan mengunjungi rumah Pak Bardi, pelaku home industri atau pelaku usaha rumahan ...