![]() |
Proses verifikasi adopsi (IJW Doc.). |
DASAR HUKUM
QS. Surah al-Ahzab ayat 37:
Dan (ingatlah), ketika
kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan
bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang
Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak
ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
QS. Surat al-Maidah ayat 2:
… Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
NASAB ANAK TETAP MELEKAT
Bukan seperti pada jaman jahilillah Arab dahulu, dimana nasab anak
tergantikan dengan orangtua angkatnya, dan diberi hak tanpa kecuali pada anak
tersebut sampai hak waris juga, dan hal ini jelas salah. Nasab anak tetap melekat
pada garis keturunannya. Bukankah saat diakherat nanti anak akan dipanggil
dengan nama ayahnya, bukan ayah angkatnya? Untuk itu jangan sesekali
adopsi anak dengan menghilangkan nasab orangtuanya dengan mengganti nama
orangtua pada akte anak dengan nama pengadopsi.
ANAK ANGKAT TIDAK BERHAK MENDAPATKAN WARISAN
Dalam hal ini memang hukum waris Islam tidak memasukkan anak angkat
sebagai ahli waris. Pada masa jahiliyah, dimana anak angkat mendapat waris
bahkan menghalangi ahli waris sebenarnya, menimbulkan perselisihan yang cukup
serius. Maka, Islam datang dengan meluruskan tentang hal itu. Lalu
bagaimana menyikapinya jika orangtua angkat meninggal? Bisa dengan cara diberi
hibah, atau berwasiat pada anak angkat untuk mendapatkan bagian, namun
jumlahnya tidak boleh lebih dari sepertiga dari jumlah harta waris.
ADA BATAS KEMAHROMAN PADA ANAK ANGKAT
Meski sudah diasuh sejak bayi, anak angkat bukanlah mahromnya/tidak ada
hubungan darah.
Maka tetap ada batasan melihat bagi anggota keluarga lainnya pada anak angkat. Ini yang kurang disadari
oleh banyak orangtua angkat, yang merasa karena sudah dianggap anak sendiri
dalam hal perilaku, membuka aurat bahkan saling sentuh walau anak sudah remaja
atau dewasa terbiasa dilakukan. Padahal hal itu sebenarnya terlarang dalam
Islam.
HAK PERWALIAN NIKAH
Saat anak angkat siap menikah, hak perwaliannya tetap pada ayah
kandungnya atau kakek atau saudara laki-lakinya. Orangtua angkat tidak punya
hak perwalian, meski orangtua dan kerabatnya tidak diketahui sekalipun, maka
wali hakim yang akan menjadi perwaliannya.
MANTAN ISTRI ANAK ANGKAT HALAL DINIKAHI
Hal ini menunjukkan jika anak angkat itu memang berbeda dengan anak
kandung, dimana bekas istri anak kandung haram hukumnya dinikahi.
Peristiwa Rasulullah yang menikahi mantan istri Zaid bin Haritsah,
yakni Zainab yang menjadi perbincangan dikalangan masyarakat kala itu, karena
dianggap Rasulullah menikahi mantan istri anaknya yang haram hukumnya. Padahal Zaid adalah anak
angkat, bukan anak kandung dan ini beda.
“Dan (ingatlah) ketika
engkau berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga
telah memberi kenikmatan kepadanya (Zaid bin Haritsah). ‘Tahanlah untukmu istrimu
dan takutlah kepada Allah’, dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang
Allah tampakkan, dan engaku takut kepada manusia, padahal Allahlah yang lebih
berhak engaku takuti. Maka tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, Kami
(Allah) nikahkan engkau dengan dia, supaya tidak menjadikan beban bagi
orang-orang mukmin tentang bolehnya mengawini bekas istri anak-anak angkatnya
apabila mereka itu telah memutuskan mencerainya, dan kepustusan Allah pasti
terlaksana.” (Al-Ahzab [33] : 37).
MENGADOPSI ANAK, BERARTI MENDIDIK DAN MEMELIHARA
Jika ada seseorang yang mengadopsi anak yatim atau anak yang terlantar
juga miskin dengan tujuan untuk memuliakan mereka dengan mendidik dan
memelihara yang baik, itu pahala bagi pengadopsi, namun jika ada tujuan lain yang
menguntungkan diri sendiri, seperti asuransi, menguasai harta anak yatim atau
bahkan niatan buruk lainnya, maka hal tersebut merupakan dosa besar.
Beberapa kasus anak adopsi malah tidak diasuh dengan baik bahkan
keadaannya memprihatinkan, karena dibedakan dengan anak sendiri, bahkan kerap
dijadikan ‘pembantu’ atau di siksa, maka celaka bagi mereka yang menyia-nyiakan
anak yatim atau anak adopsi, karena neraka bersiap menanti.
PAHALA YANG LUAR BIASA BESAR BAGI ORANG YANG MAU MENGADOPSI ANAK YATIM ATAU ANAK MISKIN
Mereka yang memiliki sikap luhur demikian akan mendapatkan penghargaan
yang tinggi dalam Islam dan mendapatkan pujian luarbiasa. Rasulullah
sampai-sampai memberikan pengandaian yang sangat indah bagi yang mengadopsi
anak-anak yatim ini:
“Saya akan bersama orang
yang menanggung anak yatim seperti ini, sambil ia menunjuk jari telunjuk dan
jari tengah, lalu ia renggangkan antara keduanya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan
Tirmidzi).
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, tidak ada dosa bagi orang yang
mau mengadopsi anak-anak miskin, terlantar atau yatim, bahkan pahala mengalir
deras untuknya.
ADOPSI DALAM KHI (KOMPILASI HUKUM ISLAM)
Pada dasarnya, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) tidak mengatur mengenai
pengangkatan anak oleh orang tua tunggal. KHI hanya menerangkan terkait hak
waris anak angkat. Menurut KHI, yang dimaksud anak angkat adalah anak yang
dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum
Islam).
FATWA MUI TENTANG ADOPSI
MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak
putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini
bertentangan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya.
Yaitu antara lain Al-Quran surat al-Ahzab ayat 4-5 yang artinya:
"Dan, dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian
itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan yang benar. Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan
memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudaramu seagama dan maula-maula (hamba sahaya yang di merdekakan)."
Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda bahwa, "Dari
Abu Dzar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak
seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya,
sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur." (HR
Bukhari dan Muslim)
ADOPSI MENURUT PP. NO. 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dimungkinkan, dengan syarat
bahwa orang tua tunggal tersebut adalah Warga Negara Indonesia dan telah
mendapat izin dari Menteri (Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak).
Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal dilakukan melalui Lembaga Pengasuhan Anak sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 30 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (Permensos No. 110/2009).
SYARAT ADOPSI
Untuk dapat mengangkat anak melalui Lembaga Pengasuhan Anak, orang
tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan (Pasal 32 Permensos No. 110/2009)
sebagai berikut:
- Sehat jasmani dan rohani baik secara fisik maupun mental mampu untuk mengasuh CAA;
- Berumur paling rendah 30 (tiga puluh ) tahun dan paling tinggi 55 (limapuluh lima) tahun;
- Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
- Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
- Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
- Dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
- Memperoleh persetujuan anak, bagi anak yang telah mampu menyampaikan pendapatnya dan izin tertulis dari orang tua/wali anak;
- Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
- Adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial Instansi Sosial Provinsi;
- Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,sejak izin pengasuhan diberikan; dan
- Memperoleh izin pengangkatan anak dari Menteri Sosial untuk ditetapkan di pengadilan.
ADOPSI DI PENGADILAN AGAMA (PA)
“Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006, semakin jelas bahwa pengangkatan
anak (adopsi) bagi orang yang beragama Islam adalah menjadi kewenangan penuh
Pengadilan Agama. Prosedur yang biasa berlaku di Pengadilan Agama sebelum
lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dalam mengajukan perkara pengangkatan
anak, yakni calon orangtua angkat mengajukan perkara permohonan pengangkatan
anak sebagaimana lazimnya perkara volunteer (permohonan). Di Pengadilan Agama
diproses sesuai dengan hukum acara yang berlaku sampai keluar Penetapan
Pengadilan Agama. Sebagai rujukan dalam acara pemeriksaan dan bentuk penetepan
dari permohonan pengangkatan anak bisanya dipedomani SEMA No. 2 Tahun 1979 jo
SEMA No. 6 Tahun 1983.
PERLU KOORDINASI
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
pengangkatan anak tetap perlu adanya rekomendasi pengangkatan anak dari Dinas Sosial Provinsi, karena dalam
mengeluarkan rekomendasi Dinas Sosial Provinsi juga telah mengadopsi aturan
dalam Islam sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam aturan tersebut tetap
melekat. Untuk memperjelas tentang proses pengangkatan anak antara Pengadilan
Agama dengan Pengadilan Negeri tentunya diperlukan koordinasi yang baik agar
permasalahan yang muncul dapat segera ditemukan solusinya. Selain itu, koordinasi
dengan instansi terkait (Dinas Sosial dan Dinas Capil) setempat.
PROSEDUR ADOPSI DI PENGADILAN AGAMA
- Permohonan pengangkatan anak oleh WNI yang bergama Islam terhadap anak WNI yang bergama Islam diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah dalam wilayah hukum dimana anak tersebut berada. (Voluntair);
- Prosedur permohonan harus berpedoman Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1979, jo. Nomor 6 Tahun 1983 jo. Nomor 3 Tahun 2005;
- Permohonan tersebut dapat dikabulkan jika terbukti memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 39 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, Pasal 5 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, SEMA RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6 Tahun 1983 jo. Nomor 3 Tahun 2005;
PEMBUKTIAN
1. KTP pemohon/para pemohon
2. Kutipan akta nikah pemohon/para pemohon
3. Kartu keluarga
4. Akta kelahiran anak yang
mau diadopsi (kalau ada)
5. Penghasilan pemohon/para
pemohon
6. Persetujuan orangtua asli
7. Saksi-saksi
BUNYI AMAR
Jika permohonan dikabulkan amarnya berbunyi: “ Menyatakan sah
pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pemohon bernama ............
bin/binti............. alamat .......... terhadap anak bernama .....
bin/binti......., umur ......”
Salinan penetapan pengangkatan anak tersebut dikirim kepada Kemetrian
Sosial, Kementrian Kehakiman cq. Dirjen Imigrasi, Kementrian Luar Negeri,
Kementrian Kesehatan, Kejaksaan Agung, kepolisian RI, dan Panitera Mahkamah
Agung RI.
WASIAT WAJIBAH
Anak angkat dan ayah angkat secara timbal balik dapat melakukan wasiat
tentang harta masing-masing, bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada ayah
angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat dan/atau anak angkat dapat diberi wiat
waajibah oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah secara ex officio maksimal 1/3
bagian dari harta warisan. (Pasal 209 KHI). (Red).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar