Kamis, 03 Maret 2011

PERGESERAN BUDAYA PADA MASYARAKAT

Ilustrasi
Ketika masih kecil dulu, mungkin pembaca masih ingat bagaimana pergaulan yang terjadi antara satu orang dengan orang yang lain. Tata krama masih dijunjung tinggi, yang muda menghormati yang tua dan yang tua pun menghormati dan “nguwongke” yang muda.
Orang yang merasa dirinya lebih tua secara otomatis mempunyai tanggung jawab untuk membimbing orang yang lebih muda, walaupun sebenarnya orang yang lebih muda itu bukanlah adik kandungnya sendiri. Sebagai contoh tradisi orang Jawa pada masa lalu, ketika si muda memanggil yang lebih tua maka biasanya akan menyebut “kang” untuk orang laki-laki yang lebih tua atau “mbak” ketika menyebut perempuan yang lebih tua, sedangkan yang lebih tua akan membimbing adik-adiknya untuk menjaga sikap yang baik. Betapa indahnya saat itu, begitu harmonis ketika norma dan etika masih terjaga dengan baik.
Namun sepertinya saat ini tradisi-tradisi yang adi luhung itu sepertinya sudah mulai pudar seiring dengan berjalannya waktu. Zaman yang semakin modern mengakibatkan manusia lambat laun mulai melupakan budayanya sendiri, budaya peninggalan nenek moyang. Gencarnya serangan budaya barat yang masuk ke negeri tercinta ini menyebabkan mereka mulai meninggalkan budayanya sendiri, beralih ke budaya orang lain. Unggah-ungguh sudah mulai luntur, orang tua seperti teman yang tidak perlu penghormatan layaknya orang tua, bukan orang yang “istimewa” lagi.
Saya ingat betul bagaimana ketika saya mengikuti Yasinan dulu, saat ada salah satu anak yang membuat gaduh maka yang lebih tua akan memperingatkan dengan pandangan mata saja. Seketika si anak akan terdiam dan menyadari bahwa dia telah berbuat salah. Tapi sekarang lain ceritanya, dengan cueknya si anak melanjutkan aktifitasnya yang mengganggu jalannya acara. Kadang-kadang si senior harus berteriak agar si anak segera berhenti berbuat gaduh.
Lebih parah lagi ketika ada seorang junior memanggil seniornya dengan sebutan yang cenderung menjelek-jelekkan namanya. Hebatnya lagi si senior santai saja ketika di panggil dengan sebutan yang buruk itu, bahkan dia pun membalas sapaan si junior dengan kata-kata yang lebih kasar lagi. Seolah-olah itu adalah hal yang lumrah, karena mereka tidak sadar bahwa sebenarnya yang dilakukannya adalah kebiasaan yang buruk. Mungkin bagi mereka tidaklah masalah, tetapi bagi orang tua mereka akan menjadi lain ceritanya. Seolah-olah mereka merendahkan orang tua, betapa besar harapan kedua orang tua terhadap nama yang diberikan kepada anaknya.
Saat ini jangan heran ketika ada nama Muhammad hobinya mencuri, Amin pekerjaannya menipu, Sholeh sukanya berjudi, Fitri sampingannya mencari lelaki. Hal ini karena mereka tidak dapat memahami sebenarnya pesan apa yang tersirat dalam nama yang disematkan pada diri mereka. Hmmm, dunia memang sudah gila.(Red).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Unggulan

Home Industri Rambak Kulit Cap Janur

Pak Bardi (IJW Doc). IJW-Sabtu (7/8/2021) penulis berkesempatan mengunjungi rumah Pak Bardi, pelaku home industri atau pelaku usaha rumahan ...